drg. Irmi

Blog sederhana berisi rekam perjalanan sebagai istri, ibu, dan dokter gigi.

Diberdayakan oleh Blogger.
  • HOME
  • LOGBOOK DENTIST
  • CERITA KITA
  • KISAH DAN HIKMAH
  • BUDAYA & WISATA
  • OPINI
  • REVIEW

Lipoma merupakan massa submukosa yang tidak mengalami inflamasi, berwarna kuning keputihan yang mengandung jaringan lemak (adipose). Lipoma merupakan tumor jinak yang mengandung lemak. Meskipun mengandung lemak tetapi ini merupakan tumor mesenkim yang sering terjadi. Sebagian besar terjadi di badan dan bagian proksimal ekstremitas. Lipoma di rongga mulut dan area maksilofasial jarang terjadi. Patogenesis lipoma tidak jelas, tetapi tampak sering terjadi pada orang obesitas. Namun, metabolism lipoma sendiri tumbuh dengan bebas pada tubuh yang gemuk. Jika jumlah kalori yang masuk dikurangi maka lipoma akan berkurang ukurannya, meskipun badan sudah memiliki jumlah lemak yang normal.

Gambaran Klinis. 
Lipoma oral biasanya tampak lunka, permukaan lembut, berbentuk nodul dapat tidak bertangkai atau bertangkai. Tumor ini asimptomatik dan sering terlihat beberapa bulan atau tahun sebelum diagnosis. Sebagian besar kurang dari 3 cm, tetapi kadang kala lesi lebih besar. Meskipun secara klinis warnanya agak kekuningan tetapi di bagian yang lebih dalam tampak berwarna pink. Mukosa bukal dan vestibulum bukal merupakan bagian yang sering terkena di rongga mulut dengan jumlah hamper 50% kasus. Beberapa kasus di bukal tidak menunjukkan tumor yang sebenarnya, tetapi lebih sering terlihat seperti lipatan lemak pada pipi, yang muncul setelah bedah pengangkatan molar tiga. Bagian yang juga jarang terkena adalah lidah, dasar mulut, dan bibir. Sebagian pasien berusia 40 tahun atau lebih; lipoma jarang terjadi pada anak-anak. Meskipun lipoma di tubuh sering dilaporkan terjadi 2 kali lipat lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki tetapi lipoma oral ditandai dengan adanya keseimbangan distribusi antara laki-laki dan perempuan.

Lipoma pada mukosa labial


Gambaran histologi. 
Sebagian besar lipoma oral mengandung sel lemak yang sudah matang dan berbeda sedikit dengan lemak di sekeliling jaringa normal. Tumor biasanya berbatas jelas dan dapat menunjukkan adanya kapsul fibrosa. Terlihat juga adanya lobus sel yang etrsusun secara beraturan. Pada kasus yang jarang, kartilago atau metaplasia ke tulang dapat terjadi pad lipoma tipikal. Variasi gambaran mikroskopis sudah pernah digambarkan. Sebagian besar adalah fibrolipoma, yang ditandai dengan adanya sel lobus lemak. Sisanya adalah jarang terjadi. Angiolipoma terdiri atas campuran lemak yang sudah matang dan pembuluh darah kecil. Mixoidlipoma menunjukkan gambaran mukoid dan susah dibedakan dengan mixoidliposarkoma. Serabut sel lipoma menunjukkan variasi jumlah serabut sel tambahan dibandingkan dengan tipikal lipoma. Pleomorfik lipoma ditandai dengan adanya serabut sel yang agak aneh, adanya giant sel hiperkromatik; sehingga jenis lipoma ini susdah untuk dibedakan dari pleomorfik liposarkoma. Intramuscular (lipoma infiltrasi) sering terjadi di bagian yang lebih dalam dan adanya infiltrasi pola pertumbuhan yang memanjang antara serabut otot skeletal.



Perawatan dan Prognosis. 
Lipoma dirawat secara konservatif dengan eksisi lokal, dan jarang terjadi rekurensi. Sebagian besar variasi mikroskopis tidak akan mepengaruhi prognosis. lipoma intramuscular memiliki rekurensi yang lebih tinggi karena pola pertumbuhannya yang menginfiltrasi, tetapi variasi ini jarang terjadi di rongga mulut dan maksilofasial.2


REFERENSI
1.      Regezi, Sciubba, Jordan. Oral Pathology 4th Ed. USA: Elsevier Science. 2003.
2.      Neville, Damn, Allen, Bouquot. Oral and Maxillofacial Pathology 2nd Ed. USA: WB Saunders Company. 2002.

Mukokel merupakan istilah yang masuk ke dalam fenomena ekstravassi dan kista retensi mukus. Karena patogenesisnya berbeda maka dipisah antara mukokel dan ranula serta kelainan fenomena ekstravasasi pada kelenjar saliva lainnya.1

Etiologi dan Patogenesis. 
Penyebab fenomena ekstravasasi mukus adalah trauma yang parah pada duktus ekskresi kelenjar saliva, sehingga menyebabkan mukus yang akan keluar akan terkunci dan berkumpul di dalam jaringan ikat yang ada di sekitarnya. Reaksi inflamasi dari netrofil diikuti dengan keluarnya makrofag. Jaringan granulasi membentuk dinding di sekeliling kumpulan musin dan kemudian kelenjar saliva berkontribusi pada saat terjadinya perubahan inflamasi. Kemudian akan terbentuk bekas luka dan di sekeliling lesi.

Gambaran Klinis. 
Bibir bawah merupakan tempat yang paling sering terjadinya fenomena ini, tetapi mukosa bukal, permukaan anterior-ventral lidah (lokasi kelenjar Blandin-Nuhn), dasar mulut dan regio retromolar juga dapat terkena. Lesi jarang ditemukan pada bagian kelenjar saliva intraoral lainnya karena kecenderungan terjadi trauma kecil. Fenomena ini tidak nyeri dengan permukaan seperti massa yang lunak dan ukurannya bervariasi dari beberapa millimeter sampai 2 cm. Warnanya agak kebiru-biruan ketika musin berada di superfisial. Remaja dan anak-anak merupakan kelompok umur yang paling sering terkena dibandingkan dengan usia dewasa. Ukuran lesi dapat berfluktuasi karena rupturnya mukosa pada bagian yang mengandung musin. Produksi musin yang terus menerus akan menyebabkan terjadinya rekurensi. Ukuran maksimum biasanya mencapai beberapa hari setelah trauma, dan material kental ditemukan pada saat dilakukan aspirasi. 

Histopatologi. 
Ekstravasasi musin bebas menunjukkan respon inflamasi yang diikuti dengan perbaikan jaringan ikat. Neutrophil dan makrofag terlihat dan pembentukan jaringan granulasi di sekeliling kumpulan musin. Kelenjar saliva yang berdekatan mengalami dilatasi, inflamasi kronis, degenerasi asinar dan fibrosis interstitial.


Perawatan dan Prognosis. 
Perawatan fenomena ini adalah melalui proses pembedahan. Aspirasi isi cairan tidak akan memberikan hasil yang menguntungkan. Pengangkatan kelenjar saliva yang berhubungan dengan kumpulan mukus penting dilakukan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Tidak ada perawatan yang dibutuhkan untuk mukokel pada permukaan, apalagi jika rupture secara spontan dan usia lesi juga sangat pendek.1
Proses pembedahan mukokel melewati tahap berikut ini.
  • anestesi lokal
  • insisi seluas mukokel
  • pengangkatan jaringan saliva minor
  • diseksi tumpul
  • pengembalian jaringan
  • penjahitan dengan menggunakan benang absorbable
Proses lengkapnya silakan lihat video berikut.




REFERENSI
1.      Regezi, Sciubba, Jordan. Oral Pathology 4th Ed. USA: Elsevier Science. 2003.
Etiologi. 
Piogenik granuloma merupakan proliferasi jaringan ikat yang berlebihan dan merupakan suatu respon terhadap stimulus atau trauma. Piogenik ini tampak sebagai massa berwarna merah karena mengandung jaringan granulasi hiperplastik yang dominan yang banyak mengandung pembuluh darah. Istilah granuloma piogenik tidak sesuai karena tidak memproduksi pus dan tidak terlihat adanya inflamasi granulomatosa.

Gambaran Klinis. 
Piogenik granuloma sering terlihat pada gingiva, dan sebagian besar disebabkan oleh kalkulus atau material asing di daerah krevikular gingiva. Perubahan hormonal pada usia pubertas atau kehamilan dapat memodifikasi respon reparative terhadap trauma, sehingga dapat menyebabkan suatu kondisi yang disebut dengan “tumor kehamilan”. Piogenik granuloma tidak biasa terlihat di mulut tetapi tampak di area yang sering terjadi trauma seperti bibir bawah, mukosa bukal dan lidah. Warnanya biasanya merah. Kadang kala bisa terjadi ulserasi karena adanya trauma sekunder. Lesi ulserasi kemudian ditutup oleh membran fibrin kekuningan. Lesi ini dapat ebrtangkai atau meluas berdasarkan rentang ukuran dari beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter. Lesi ini dapat terlihat pada berbagai usia dan lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki.

Histopatologi. 
Secara mikroskopis, piogenik granuloma terdiri atas massa lobular yang mengandung jaringan granular hiperplastik. Beberapa bekas luka dapat terlihat pada beberapa lesi, sehingga mungkin merupakan jaringan ikat yang mengalami proses maturasi. Beberapa sel inflamasi kronis juga telihat. Neutrophil menunjukkan tampak pada zona permukaan piogenik granuloma.


Perawatan. 
Piogenik granuloma harus dieksisi; termasuk jaringan ikat dari lesi yang terangkat, dan juga menghilangkan faktor penyebabnya seperti (plak, kalkulus, material asing, sumber trauma). Rekurensi dapat terjadi dan diyakini terjadi akibat eksisi yang tidak habis, kegagalan untuk menghilangkan faktor penyebab atau trauma yang berulang pada daerah yang sama. Berakhirnya kehamilan juga dapat membuat piogenik granuloma menjadi mengkerut tetapi lesi sisanya harus dieksisi.1 Saat ini sudah berkembang teknik eksisi pyogenik granuloma dengan menggunakan laser. Dapat dilihat lebih lanjut pada jurnal ini (http://www.jcasonline.com/article.asp?issn=0974-2077;year=2011;volume=4;issue=2;spage=144;epage=147;aulast=Rai)


REFERENSI
1.      Regezi, Sciubba, Jordan. Oral Pathology 4th Ed. USA: Elsevier Science. 2003.
DEFINISI
Focal fibrous hyperplasia atau nama lainnya adalah fibroma merupakan “tumor” yang sering terjadi di rongga mulut. Namun, lesi ini diragukan sebagai sebagai neoplasma sebenarnya karena tidak ada bukti keganasan yang berperan tetapi hanya terjadi jaringan ikat yang mengalami hiperplasia akibat adanya reaksi sehingga jaringan merespon terhadap iritasi atau trauma.1

ETIOLOGI
Focal fibrous hyperplasia merupakan lesi reaktif yang biasanya disebabkan oleh trauma kronis pada membran mukosa oral. Jaringan ikat fibrosa yang tumbuh berlebihan yang melindungi diri dari iritasi sehingga lama kelamaan akan membentuk massa di submukosa. Meskipun istilah lesi ini memiliki nama lain seperti fibroma reaktif tetapi lesi ini tidak termasuk ke dalam lesi keganasan. Etiologi lesi ini adalah sebagai berikut; bisa disebabkan oleh gigi tiruan, molar ketiga yang impaksi, kawat ortodonti dan lain-lain.1,2

GAMBARAN KLINIS
Meskipun iritasi lesi ini dapat terjadi di mana saja di rongga mulut, sebagian besar lokasinya adalah mukosa bukal sejajar dengan garis oklusal. Oleh sebab itu ini merupakan akibat trauma menggigit pipi. Mukosa labial, lidah, dan gingiva juga sering terkena. Pada fibroma yang di gingiva sekilas mirip dengan pyogenic granuloma. Lesi biasanya tampak berupa nodul di mukosa bukal posterior dekat dengan garis oklusal, permukaannya pink pucat mirip dengan jaringan lunak di sekitarnya. Pada pasien berkulit hitam, massa ini menunjukkan pigmentasi coklat keabuan. Pada beberapa kasus, permukaan lesi tampak putih karena adanya hiperkeratosis dari iritasi yang terus menerus. Sebagian lesi ini tidak bertangkai tetapi beberapa lainnya memiliki tangkai. Ukurannya bervariasi berkisar antara beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter. Namun, sebagaian besar lesi ini memiliki diameter berukuran 1,5 cm atau kurang. Lesi ini biasanya tidak memiliki gejala, meskipun traumatik ulser sekunder di sekelilingnya dapat terjadi. Fibroma yang mengalami iritasi sering terjadi pada decade ke 6 kehidupan dan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1:2.1,2

GAMBARAN HISTOLOGI

image

Pemeriksaan histologi pada lesi ini menunjukkan adanya massa berupa nodul jaringan ikat fibrosa yang ditutupi oleh epitel skuamous bertingkat. Jaringan ikat ini biasanya mengalami densitas dan kolagenisasi, meskipun pada beberapa kasus tidak begitu tampak. Lesi ini tidak memiliki kapsul, jaringan ikat fibrosa bercampur di sekeliling jaringan ikat. Serat kolagen tersusun secara sirkular, atau bentuk haphazard. Penutup epitel biasanya menunjukkan atrofi ada rete ridge karena massa fibrosa di bawahnya. Namun, permukaan lesi dapat menunjukkan hiperkeratosis dari trauma sekunder. Inflamasi yang bertebaran dapat terlihat, sebagian besar di dekat permukaan epitel. Biasanya inflamasi yang terjadi adalah inflamasi kronis dan mengandung banyak limfosit dan sel plasma.2


DIAGNOSIS BANDING
  1. Pyogenik Granuloma
  2. Mukokel
  3. Lipoma


PERAWATAN
Lesi iritasi ini dirawat dengan bedah konservatif; rekurensi jarang terjadi. Namun, sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan mikroskop pada jaringan yang telah dieksisi karena bisa jadi ada kemungkinan tumor jinak atau ganas yang mirip dengan fibroma.1,2



REFERENSI
1.     Regezi, Sciubba, Jordan. Oral Pathology 4th Ed. USA: Elsevier Science. 2003.
2.    Neville, Damn, Allen, Bouquot. Oral and Maxillofacial Pathology 2nd Ed. USA:      WB Saunders Company. 2002.

Jaringan periodonsium merupakan jaringan pendukung gigi yang meliputi jaringan keras dan jaringan lunak. Jaringan keras terdiri atas sementum dan tulang alveolar sedangkan jaringan lunak terdiri atas gingiva gusi dan ligamen periodontal. Penyakit yang terjadi pada jaringan periodonsium disebut dengan penyakit periodontal yang secara umum dibagi menjadi 2 yaitu gingivitis (peradangan gusi) dan periodontitis (peradangan pada jaringan pendukung gigi). Gingivitis merupakan inflamasi pada jaringan gingiva (gusi) tanpa terjadinya kehilangan perlekatan dan sifatnya reversible (dapat kembali seperti semula) sedangkan periodontitis merupakan inflamasi pada jaringan periodonsium dan sudah terjadi kehilangan perlekatan dan sudah terbentuknya poket periodontal (saku gusi) dan bersifat irreversible (tidak dapat kembali seperti semula).
Salah satu faktor pendukung terjadinya penyakit periodontal adalah merokok. Rokok amat berbahaya bagi kesehatan gigi dan mulut. Jumlah perokok di Amerika pada tahun 2007 mencapai 20,8% dari seluruh populasi dan terjadi lebih tinggi pada usia muda (≤34 tahun) dari pada usia tua (≥55 tahun) dan lebih sering pada laki-laki (30,9%) dibandingkan wanita (25,1%). Berdasarkan data WHO jumlah perokok di Indonesia sangat tinggi menempati urutan ketiga di dunia setelah Cina dan India. Berdasarkan data Global Adults Tobacco Survey (GATS) pada tahun 2011 dimana terjadi peningkatan konsumsi rokok di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang dilakukan survei yang sama. Data Kemenkes tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah perokok di Indonesia mencapai 65,2 juta orang dengan rincian perokok laki-laki sebanyak 60,4 juta dan perokok wanita adalah 4,8 juta orang. Hal ini dapat menyebabkan berbagai macam permasalahan baik permasalah kesehatan secara umum yaitu meningkatkan risiko kematian, penyakit jantung, permasalahan di rongga mulut seperti penyakit periodontal, kanker rongga mulut dan berbagai penyakit lainnya. Tingginya angka perokok juga dapat menyebabkan kerugian sebanyak 245,5 triliun per tahunnya walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa rokok dapat meningkatkan devisa negara. Berdasarkan survei, pengeluaran keluarga Indonesia yang merokok menempati urutan kedua setelah makanan dan kalah jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk konsumsi daging, buah-buahan, pendidikan maupun kesehatan.
Rokok yang dikenal memiliki efek yang buruk terhadap kesehatan rongga mulut dapat menimbulkan berbagai macam masalah. Salah satunya adalah penyakit periodontal. Rokok yang mengandung ribuan zat kimia berbahaya dan terdiri atas fase gas dan fase solid. Fase gas berupa karbon monoksida, ammonia, formalin, hidrogen sianida, dan berbagai jenis racun dan iritan lain termasuk 60 jenis yang diketahui sebagai karsinogen seperti benzo (a)pyrene dan dimetilnitrosamin. Fase solid terdiri atas nikotin “tar” (yang merupakan racun yang bersifat toksik), benzena dan benzo (a)pyrene. Tar akan terhirup ketika rokok dihisap dan akan terjadi kondensasi yang menyebabkan adanya substansi coklat keras pada gigi atau jari. Nikotin sebagai alkaloid, ditemukan pada daun tembakau dan akan berevaporasi ketika rokok dinyalakan. Nikotin ini dengan sangat cepat akan diserap oleh paru-paru dan akan mencapai otak dalam waktu 10-19 detik. Nikotin bersifat aditif dan menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan laju jantung dan sirkulasi serta vasokonstriksi pembuluh darah.
Adapun efek yang ditimbulkan akibat rokok terhadap jaringan peridonsium meliputi gingivitis dan periodontitis. Pada gingivitis terjadi penurunan infalamasi gingiva dan perdarahan saat dilakukan probing. Hal ini karena pada perokok respon terhadap akumulasi plak berkurang sehingga tidak menyebabkan terjadinya kerusakan. Pada periodontitis, merokok dapat menyebabkan terjadinya peningkatan keparahan penyakit periodontal, peningkatan kedalaman poket, kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang, terjadinya periodontitis, dan kehilangan gigi. Aktivitas merokok seseorang setiap harinya dapat dihubungkan dengan terjadi peningkatan laju penyakit periodontal. Berdasarkan penelitian NHNES menyatakan adanya hubungan antara penyakit periodontal dengan merokok yaitu terjadi pada 12.000 individu dengan usia > 18 tahun yang merokok. Periodontitis ditandai dengan terjadinya kehilangan perlekatan yaitu ≥ 4 mm dan kedalaman poket ≥ 4 mm. Pada individu perokok terjadi peningkatan risiko terjadinya periodontitis sebanyak 4 dibandingkan dengan individu yang tidak pernah merokok setelah dikaitkan dengan umur, jenis kelamin, etnis, pendidikan, dan penghasilan.
Perokok yang mengalami periodontitis dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kerusakan yang ditimbulkan akibat rokok. Salah satunya adalah perubahan mikroflora. Pada perokok terjadi perubahan flora normal dalam rogga mulut mengalami kerusakan. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan komposisi plak subgingiva, dimana terjadi peningkatan mikroorganisme patogen dan perubahan respon tubuh terhadap perubahan mikroorganisme tersebut atau kombinasi dari keduanya. Berdasarkan beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara perubahan mikrobial dengan terjadinya periodontitis. Sedangkan penelitian yang berbeda menunjukkan bahwa terjadi perbedaan jumlah Tannerella forsythia pada perokok yaitu sebanyak 2,3 kali dibandingkan dengan bukan perokok. Selain perubahan mikroflora, pada perokok juga terjadi perubahan respon imun, dimana terjadi penurunan respon imun karena perubahan mikrofloranya. Pada perokok mikroflora merusak elemen protektif respon imun sehingga terjadinya peningkatan kerusakan jaringan periodontal. Hal ini dapat menyebabkan respon imun pejamu terhadap perubahan mikroflora menjadi berkurang. Neutrofil yang memiliki fungsi utama respon imun memiliki tugas untuk melakukan kemotaksis, fagositosis dan membunuh mikroorganisme. Namun, fungsi tersebut pada perokok menunjukkan penurunan bahkan telah rusak. Selain itu juga terjadi penurunan jumlah antibodi tetapi terjadi peningkatan mediator inflamasi yang dapat mengakibatkan terjadi kerusakan periodontal seperti tumor necrosis factor alpha (TNF-α), prostaglandin E2 (PGE2) dan matrix metalloproteinase-8 (MMP-8) serta meningkatnya cairan krevikular.

Berdasarkan penjelasan di atas, berdasarkan hemat penulis jelas bahwa merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya periodontitis yang meliputi terjadinya perubahan mikroflora dan perubahan respon imun. Hal ini akan menyebabkan seseorang lebih mudah terjadi kerusakan pada jaringan periodontalnya karena ketidakseimbangan tersebut. Di samping itu terdapat lebih banyak lagi penyakit di rongga mulut yang disebabkan oleh rokok seperti bau mulut, kerusakan mukosa dan yang lebih penting rokok menjadi penyebab terjadinya kanker rongga mulut dan kehilangan gigi di usia muda karena adanya periodontitis. 



Rasa sakit dapat diredakan melalui terputusnya perjalanan neural pada berbagai tingkatan dan melalui cara-cara yang dapat memberikan hasil permanen atau sementara. Dalam kedokteran gigi sering digunakan anestesi local untuk melakukan suatu prosedur operasi atau ekstraksi gigi. 
Ujung saraf yang mempersepsi rasa sakit dapat distimulasi oleh stimulus mekanis, osmotic, thermal dan kimia. Sakit biasanya terhenti dengan segera bila stimulus yang merangsang ujung saraf dihilangkan. Sakit yang terjadi selama perawatan gigi seringkali ditimbulkan oleh instrumentasi. Pada situasi ini, biasanya agen anestesi local dapat dipergunakan untuk mengurangi maupun meredakan rangsang pada ujung saraf atau memblokir arah berjalannya impuls yang sakit menuju otak.

Definisi Anestesi
Anestesi adalah hilangnya semua bentuk sensasi termasuk sakit, sentuhan, persepsi temperature dan tekanan dan dapat disertai dengan terganggunya fungsi motorik. Bila hanya sebagian dari tubuh yang terpengaruh, dapat digunakan istilah anestesi local atau analgesia local. 

Anestesi local menghambat impuls konduksi secara reversible sepanjang akson saraf dan membrane eksitabel lainnya yang menggunakan saluran natrium sebagai alat utama pembangkit potensial aksi. Secara klinik, kerja ini dimanfaatkan untuk menghambat sensasi sakit dari atau impuls vasokonstriktor simpatis ke bagian tubuh tertentu. 
Hingga saat ini belum ada obat anestesi yang ideal, dan pengembangan obat masih terus diteliti. Namun, walaupun relative mudah untuk mensintesis suatu zat kimia yang mempunyai efek anestesi local tetapi sangat sulit mengurangi efek toksik yang lebih kecil dari obat yang ada saat ini. Alasan utama kesulitan tersebut adalah kenyataan bahwa toksisitas yang sangat serius dari obat anestesi local merupakan perluasan efek terapinya pada otak dan sistem sirkulasi.(1,2)


Penggolongan Obat
Anestesi local dibagi menjadi dua golongan yaitu ester dan amida. Ester adalah golongan yang mudah terhidrolis sehingga waktu kerjanya cepat hilang, sementara amida merupakan golongan yang tidak mudah terhidrolisis sehingga waktu kerjanya lama. 

Farmakokinetik
Anestesi local biasanya diberikan secara suntikan ke dalam daerah serabut saraf yang akan dihambat. Oleh karena itu, penyerapan dan distribusi tidak begitu penting dalam memantau mula kerja efek dalam menentukan mula kerja anestesi sama seperti pada anestesi umum terhadap SSP dan toksisitas jantung. 

a. Absorpsi
Absorpsi sistemik suntikan anestesi local dari tempat suntikan dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain:
 Dosis
 Tempat suntikan
 Ikatan obat-jaringan
 Adanya bahan vasokonstriktor
 Sifat fisiokimia obat
Aplikasi anestesi local pada daerah yang kaya vaskularisasi menyebabkan penyerapan obat yang sangat cepat dan kadar obat dalam darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempat yang perfusinya jelek. Untuk anestesi regional yang menghambat saraf yang besar, kadar darah maksimum anestesi local menurun sesuai dengan pemberian yaitu: interkostal (tertinggi)→kaudal→epidural→pleksus brakialis→saraf isciadikus (terendah).

b. Distribusi
Anestesi local amida disebar meluas dalam tubuh setelah pemberian lobus intravena. Bukti menunjukkan bahwa penyimpanan obat mungkin terjadi dalam lemak. Setelah fase distribusi awal yang perfusinya tinggi seperti otak, hati, ginjal dan jantung diikuti oleh fase distribusi lambat yang perfusinya sedang seperti otot dan usus. Karena waktu paruh plasma yang sangat singkat dari obat tipe ester maka distribusinya tidak diketahui. 

c. Metabolisme dan Ekskresi 
Anastesi local diubah dalam hati dan plasma menjadi metabolit yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan ke dalam urin. Karena anestesi local yang bentuknya tak bermuatan maka mudah berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk netralnya yang diekskresikan. Pengasaman urin akan meningkatkan ionisasi basa tersier menjadi bentuk bermuatan yang mudah larut dalam air, sehingga mudah dieksresikan karena bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal. 
Tipe ester anestesi local dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh butirilkolinestrase (pseudokolinesterase). Oleh karena itu, obat ini khas sekali mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang dari 1 menit untuk prokain dan kloroprokain. 
Ikatan amida dari anestesi local amida dihidrolisis oleh enzim mikrosomal hati. Kecepatan metabolisme senyawa amida di dalam hati ini bervariasi bagi setiap individu, perkiraan urutannya adalah prilokain (tercepat) → editokain→ lidokain→ mepivakain→ bupivakain (terlambat). Akibatnya, toksisitas dari anestesi local tipe amida ini akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Sebagai contoh, waktu paruh lidokain rerata akan memanjang dari 1,8 jam pada pasien normal menjadi lebih dari 6 jam pada pasien dengan penyakit yang berat.(1)



Farmakodinamik
Adapun farmakodinamik untuk obat anestesi local adalah:
a. Mekanisme Kerja
Selama eksitasi, saluran natrium terbuka dan arus natrium masuk ke dalam sel dengan cepat mendepolarisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium (+40mV). Sebagai akibat depolarisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka. Aliran kalium keluar sel merepolarisasi membran ke arah keseimbangan potensial kalium (sekitar -95mV); terjadi lagi repolarisasi saluran natrium menjadi keadaan istirahat. Perbedaan ionic transmembran dipertahankan oleh pompa natrium. Sifat ini mirip dengan yang terjadi pada otot jantung dan anestesi local pun mempunyai efek yang sama pada kedua jaringa tersebut. 
Anestesi local mengikat reseptor dekat ujung intrasel saluran dan menghambat saluran dalam keadaan bergantung waktu dan voltase. 
Bila peningkatan konsentrasi dalam secara progresif anestesi local digunakan pada satu serabut saraf, nilai ambang eksitasinya meningkat, konduksi impuls melambat, kecepatan muncul potensial aksinya menurun, amplitude potensial aksi mengecil dan akhirnya kemampuan melepas satu potensial aksi hilang. Efek yang bertambah tadi merupakan hasil dari ikatan anestesi local terhadap banyak dan makin banyak saluran natrium; pada setiap saluran, ikatan menghasilkan hambatan arus natrium. Jika arus ini dihambat melebihi titik kritis saraf, maka propagasi yang melintas daerah yang dihambat ini tidak mungkin terjadi lagi. Pada dosis terkecil yang dibutuhkan untuk menghambat propagasi, potensial istirahat jelas tidak terganggu. 

Karakteristik Struktur-Aktivitas Anestesi Lokal 
Makin kecil dan makin banyak molekul lipofilik, makin cepat pula kecepatan interaksi dengan reseptor saluran natrium. Potensi mempunyai hubungan positif pula dengan kelarutan lipid selama obat menahan kelarutan air yang cukup untuk berdifusi ke tempat kerja. Lidokain, prokain, dan mepivakain lebih larut dalam air dibandingkan tetrakain, etidokain, dan bupivakain. Obat yang terakhir lebih kuat dengan masa kerja yang panjang. Obat-obat tadi terikat lebih ekstensif pada protein dan akan menggeser atau digeser dari tempat ikatannya oleh obat-obatan lain.



b. Aksi Terhadap Saraf
Karena anestesi local mampu menghambat semua saraf, maka kerjanya tidak saja terbatas pada hilangnya sensasi sakit dan nyeri yang diinginkan. Perbedaan tipe serabut saraf akan membedakan dengan nyata kepekaannya terhadap penghambatan anestesi local atas dasar ukuran dan mielinasi. Aplikasi suatu anestesi local terhadap suatu akar serabut saraf, serabut paling kecil B dan C dihambat lebih dulu. Serabut delta tipe A akan dihambat kemudian. Oleh karena itu, serabut nyeri dihambat permulaan; kemudian sensasi lainnya menghilang; dan fungsi motor dihambat terakhir. 



Adapun efek serabut saraf antara lain:
 Efek diameter serabut
Anestesi local lebih mudah menghambat serabut ukuran kecil karena jarak di mana propagasi suatu impuls listrik merambat secara pasif pada serabut tadi (berhubungan dengan constant ruang) jadi lebih singkat. Selama mula kerja anestesi local, bila bagian pendek serabut dihambat, maka serabut berdiameter kecil yang pertama kali gagal menyalurkan impuls. 
Terhadap serabut yang bermielin, setidaknya tiga nodus berturut-turut dihambat oleh anestesi local untuk menghentikan propagasi impuls. Makin tebal serabut saraf, makin terpisah jauh nodus tadi yang menerangkan sebagian, tahanan yang lebih besar untuk menghambat serabut besar tadi. Saraf bermielin cenderung dihambat serabut saraf yang tidak bermielin pada ukuran yang sama. Dengan demikian, serabut saraf preganglionik B dapat dihambat sebelum serabut C kecil yang tidak bermielin.

 Efek frekuensi letupan
Alasan penting lain terhadap mudahnya penghambatan serabut sensoris mengikuti langsung dari mekanisme kerja yang bergantung pada keadaan anestesi local. Serabut sensoris, terutama serabut nyeri ternyata berkecukupan letupan tinggi dan lama potensial aksi yang relative lama (mendekati 5 milidetik). Serabut motor meletup pada kecepatan yang lebih lambat dengan potensial aksi yang singkat (0,5 milidetik). Serabut delta dan C adalah serabut berdiameter kecil yang terlibat pada transmisi nyeri berfrekuensi tinggi. Oleh karena itu, serabut ini dihambat lebih dulu dengan anestesi local kadar rendah dari pada serabut A alfa. 

 Efek posisi saraf dalam bundle saraf
Pada sekumpulan saraf yang besar, saraf motor biasanya terletak melingkari bundle dan oleh karena itu saraf ini akan terpapar lebih dulu bila anestesi local diberikan secara suntikan ke dalam jaringan sekitar saraf. Akibatnya bukan tidak mungkin saraf motor terhambat sebelum penghambatan sensoris dalam bundle besar. Jadi, selama infiltrasi hambatan saraf besar, anestesi muncul lebih dulu di bagian proksimal dan kemudian menyebar ke distal sesuai dengan penetrasi obat ke dalam tengah bagian bundle saraf. 



c. Efek Terhadap Membran yang Mudah Terangsang Lainnya
Anestesi local mempunyai efek menghambat otot saraf yang lemah dan tidak begitu penting dalam klinik. Namun, efeknya terhadap membran sel otot jantung mempunyai makna klinik yang penting.(1)



Durasi Obat
Secara teoritis, lamanya waktu pemulihan dari sensasi harus sama dengan lamanya waktu yang diperlukan untuk operasi. Namun, pada prakteknya, durasi anestesi biasanya lebih lama dari pada durasi yang diperlukan untuk prosedur perawatan gigi. Penambahan vasokonstriktor pada larutan anestesi local akan mempengaruhi durasi anestesi.(2)



Efek Samping
Seharusnya obat anestesi local diserap dari tempat pemberian obat. Jika kadar obat dalam darah menigkat terlalu tinggi, maka akan timbul efek pada berbagai sistem organ. 
a. Sistem Saraf Pusat
Efek terhadap SSP antara lain ngantuk, kepala terasa ringan, gangguan visual dan pendengaran, dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi, akan timbul pula nistagmus dan menggigil. Akhirnya kejang tonik klonik yang terus menerus diikuti oleh depresi SSP dan kematian yang terjadi untuk semua anestesi local termasuk kokain. 
Reaksi toksik yang paling serius dari obat anestesi local adalah timbulnya kejang karena kadar obat dalam darah yang berlebihan. Keadaan ini dapat dicegah dengan hanya memberikan anestesi local dalam dosis kecil sesuai dengan kebutuhan untuk anestesi yang adekuat saja. Bila harus diberikan dalam dosis besar, maka perlu ditambahkan premedikasi dengan benzodiapedin; seperti diazepam, 0,1-0,2 mg/kg parenteral untuk mencegah bangkitan kejang.

b. Sistem Saraf Perifer (Neurotoksisitas)
Bila diberikan dalam dosis yang berlebihan, semua anestesi local akan menjadi toksik terhadap jaringan saraf. 

c. Sistem Kardiovaskular 
Efek kardiovaskular anestesi local akibat sebagian dari efek langsung terhadap jantung dan membrane otot polos serta dari efek secara tidak langsung melalui saraf otonom. Anestesi local menghambat saluran natrium jantung sehingga menekan aktivitas pacu jantung, eksitabilitas, dan konduksi jantung menjadi abnormal. Walaupun kolaps kardiovaskular dan kematian biasanya timbul setelah pemberian dosis yang sangat tinggi, kadang-kadang dapat pula terjadi dalam dosis kecil yang diberikan secara infiltrasi.

d. Darah
Pemberian prilokain dosis besar selama anestesi regional akan menimbulkan penumpukan metabolit o-toluidin, suatu zat pengoksidasi yang mampu mengubah hemoglobin menjadi methemeglobin. Bila kadarnya cukup besar maka warna darah menjadi coklat. 

e. Reaksi alergi
Reaksi ini sangat jarang terjadi dan hanya terjadi pada sebagian kecil populasi.(1)



Vasokonstriktor
Vasokonstriktor adalah obat yang dapat mengkonstrksikan pembuluh darah dan mengontrol perfusi jaringan. Penambahan sejumlah kecil vasokonstriktor pada larutan anestesi local dapat memberi keuntungan sebagai berikut:
a. Mengurangi efek toksik melalui efek penghambat absorpsi konstituen.
b. Membatasi agen anestesi hanya pada daerah yang terlokalisir sehingga dapat meningkatkan kedalaman dan durasi anestesi. 
c. Menimbulkan daerah kerja yang kering (bebas bercak darah) untuk prosedur operasi. 
d. Dapat menurunkan perfusi (aliran darah) dari tempat administrasi karena mengkonstriksi pembuluh darah. 
e. Absorpsi anestesi local ke sistem kardiovaskular melambat sehingga kadar dalam plasma juga rendah.
f. Meminimumkan durasi aksi anestesi local.
g. Menurunkan perdarahan pada tempat injeksi sehingga berguna pada saat prosedur pembedahan untuk mengantisipasi perdarahan.(2,3)

Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah:
a. Adrenalin (epinefrin), suatu alkaloid sintetik yang hampir mirip dengan sekresi medulla adrenalin alami.
b. Felypressin (Octapressin), suatu polipeptid sintetik yang hampir mirip dengan sekresi glandula pituitary posterior manusia. Felypressin mempunyai sifat vasokonstriktor yang lemah, yang tampaknya dapat diperkuat dengan penambahan prilokain.(2)

Indikasi:
a. Digunakan untuk menghindari bleeding.
b. Menurunkan perfusi.
Kontraindikasi:
a. Pada pasien dengan kardiovaskular dan penyakit kelainan tiroid.
b. Pada individu yang sensitive.
c. Pada individu yang terjadi reaksi obat-obatan yang tidak terantisipasi yang menyebabkan PVC (Prematur Ventricular Contraction).

Perbandingan dan pengenceran
Larutan vasokonstriktor biasanya dinyatakan sebagai rasio (misalnya 1 sampai 1000, ditulis 1:1000). Konsentrasi 1:1000 diartikan bahwa ada 1 gram (atau 1000 mg) obat yang terdapat pada 1000 mL larutan. Sehingga, larutan 1:1000 mengandung 1000 mg dalam 1000 mL atau 1,0 mg/mL. 
Larutan vasokontriktor yang digunakan dalam larutan anestesi pada praktek dental biasanya lebih encer. Untuk menghasilkan konsentrasi 1:10.000, 1 mL dari larutan 1:1000 ditambahkan dengan 9 mL pelarut (misalnya air steril) sehingga menjadi 1:10.000=0,1 mg/mL. Jika menginginkan pengenceran yang lebih, setiap konsentrasi yang ada ditambahkan dengan 9 mL akuades.(3)



Anestesi Lokal dalam Kedokteran Gigi
Dalam kedokteran gigi dikenal dua tekhnik anestesi local yaitu:
a. Anestesi infiltrasi 

Larutan anestesi didepositkan di dekat serabut terminal dari saraf dan akan terifiltrasi di sepanjang jaringan untuk mencapai serabut saraf dan menimbulkan efek anestesi dari daerah terlokalisir yang disuplai oleh saraf tersebut. Tekhnik infiltrasi dibagi menjadi:
1. Suntikan submukosa 
  • Istilah ini diterapkan bila larutan didepositkan tepat di balik membrane mukosa. Walaupun cenderung tidak menimbulkan anestesi pada pulpa gigi, suntikan ini sering digunakan baik untuk menganestesi saraf bukal panjang sebelum pencabutan molar bawah atau operasi jaringan lunak.
2. Suntikan supraperiosteal
  • Dengan cara ini, anestesi pulpa gigi dapat diperoleh dengan penyuntikan di sepanjang apeks gigi. Suntikan ini merupakan suntikan yang paling sering digunakan dan sering disebut sebagai suntikan infiltrasi.
3. Suntikan subperiosteal
  • Tekhnik ini, larutan anestesi didepositkan antara periosteum dan bidang kortikal. Tekhnik ini digunakan apabila tidak ada alternative lain karena akan terasa sangat sakit. Tekhnik ini biasa digunakan pada palatum dan bermanfaat bila suntikan supraperiosteal gagal untuk memberikan efek anestesi walaupun biasanya pada situasi ini lebih sering digunakan suntikan intraligamen. 
4. Suntikan intraoseous
  • Suntikan ini larutan didepositkan pada tulang medularis. Setelah suntikan supraperiosteal diberikan dengan cara biasa, dibuat insisi kecil melalui mukoperiosteum pada daerah suntikan yang sudah ditentukan untuk mendapat jalan masuk bur dan reamer kecil pada perawatan endodontic. Dewasa ini, tekhnik suntikan ini sudah sangat jarang digunakan. 
5. Suntikan intraseptal
  • Merupakan modifikasi dari tekhnik intraoseous yang kadang-kadang digunakan bila anestesi yang menyeluruh sulit diperoleh atau bila dipasang gigi geligi tiruan imediat serta bila tekhnik supraperiosteal tidak mungkin digunakan. Tekhnik ini hanya dapat digunakan setelah diperoleh anestesi superficial. 
6. Suntikan intraligamen atau ligament periodontal
  • Jarum diinsersikan pada sulkus gingival dengen bevel mengarah menjauhi gigi. Jarum kemudian didorong ke membrane periodontal bersudut 30° terhadap sumbu panjang gigi. Jarum ditahan dengan jari untuk mencegah pembengkokan dan didorong ke penetrasi maksimal sehingga terletak antara akar-akar gigi dan tulang interkrestal. 
b. Anestesi regional (Fisher)
Larutan anestesi yang didepositkan di dekat batang saraf akan melalui pemblokiran semua impuls, menimbulkan anestesi pada daerah yang disuplai oleh saraf tersebut. Anestesi ini dikenal sebagai ‘anestesi regional’ ‘atau anestesi blok’.
Walaupun tekhnik ini dapat digunakan pada rahang atas, tekhnik tersebut mempunyai manfaat khusus dalam kedokteran gigi yaitu untuk menganestesi mandibula. Penggunaan tekhnik infiltrasi pada mandibula umumnya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena densitas bidang kortikal luar dari tulang. Dengan mendepositkan larutan anestesi di ruang pterigomandibular di dekat foramen mandibula anestesi regional pada seluruh distribusi saraf gigi inferior pada sisi tersebut akan dapat diperoleh.(2)


Kesimpulan

1. Anestesi local adalah hilangnya semua bentuk sensasi termasuk sakit, sentuhan, persepsitemperature dan tekanan dan dapat disertai dengan terganggunya fungsi motorik dan hanya terpengaruh pada sebagian tubuh. Anestesi local digunakan untuk menghilangkan rasa sakit baik pada proses operasi maupun ekstraksi gigi.
2. Dalam penggunaannnya, anestesi tidak boleh berlebihan karena akan meberi efek terhadap sistem saraf pusat, perifer, sistem kardiovaskular, darah dan kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi alergi. 
3. Penambahan vasokonstriktor dalam anestesi local sangat bagus karena memberikan banyak keuntungan tetapi harus diperhatikan pada pasien dengan penyaki sistemik. Dalam kedokteran gigi biasanya digunakan dua tekhnik anestesi yaitu tekhnik infiltrasi dan blok (Fisher). 



DAFTAR PUSTAKA



1. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik Ed. 4. Jakarta: EGC. 1998, halaman 414-421.
2. Howe, Geoffrey L dan Whitehead, F. Ivor H. Anestesi Lokal (alih bahasa drg. Lilian Yuwono). Jakarta: Hipokrates. 1992, halaman 7, 21-22, 28-30, 59-68.
3. http://yukiicetta.blogspot.com, diakses pada Jumat, 4 Februari 2011 jam 20.15 WIB.
Postingan Lama Beranda

Terpopuler

  • MUKOKEL
  • PYOGENIK GRANULOMA
  • FOCAL FIBROUS HYPERPLASIA
  • LIPOMA
  • Tulang dan Otot (Sistem Gerak pada Manusia)
  • PENGARUH ROKOK TERHADAP KESEHATAN RONGGA MULUT
  • Trauma From Occlusion (TFO)
  • ANESTESI LOKAL DALAM KEDOKTERAN GIGI
  • KEDOKTERAN GIGI
  • Manajemen Perilaku Anak (Pediatric Dentistry)

Total Tayangan Halaman

About Me

Advertisement

Copyright © 2016 drg.Irmi Design by OddThemes